Jaringan Hotel Hyatt: Harus Lebih Mengenali Pelanggan
Buat hotel sekelas Grand Hyatt, tak bisa dipungkiri peran teknologi informasi
(TI) sangatlah penting guna menunjang proses bisnis. Jaringan hotel bintang lima
internasional yang berpusat di Chicago AS ini tersebar di berbagai negara,
sehingga sistem TI pun seragam, menggunakan standar yang sama. Penyeragaman
sistem TI ini juga berlaku untuk jaringan hotel Hyatt di Indonesia, seperti
Grand Hyatt Jakarta, Hyatt Regency Bandung, Hyatt Regency Yogyakarta, Hyatt
Regency Surabaya, Bali Hyatt, Grand Hyatt Bali, dan Hotel Aryaduta Jakarta (yang
juga dikelola Hyatt Internasional).
Menurut Budi Mulya, Area Information Systems Manager Hyatt International Hotels
and Resort Indonesia, sistem TI yang telah mulai digagas di jaringan hotel Hyatt
Indonesia pada 1988, diakui telah memberikan kontribusi cukup signifikan dalam
menunjang proses bisnis sehari-hari.
Menurut eksekutif yang membawahkan pengelolaan TI di 6 Hotel Hyatt plus Hotel
Aryaduta ini, tujuan pemanfaatan TI adalah meningkatan pelayanan terhadap
pelanggan serta menyajikan informasi yang lebih akurat, efektif, dan relevan.
"Dengan TI, proses kerja menjadi lebih lancar, biaya operasional bisa ditekan,
pelayanan kepada pelanggan meningkat, dan tentu saja ini akan meningkatkan
keuntungan," ungkap lulusan Jurusan Teknik Sipil Universitas Trisakti dan
Sarjana Komputer AMIK Bunda Mulia ini.
Dijelaskan Budi, pada prinsipnya, sistim TI yang digunakan Hyatt terbagi dua:
bersifat global dan lokal. Sistem TI global merupakan sistem TI standar yang
digunakan oleh jaringan hotel Hyatt di seluruh dunia. Sistem TI global ini
adalah hotel system dengan aplikasi property management system (PMS)
Maxial/HYAdvantage yang terintegrasi, mulai dari aplikasi front office,
purchasing, point of sales, sales and marketing, food and beverage hingga
aplikasi accounting.
Sementara itu, untuk sistem TI lokal, setiap hotel diberi kebebasan menyediakan
sistemnya sesuai kebutuhan. Contohnya, pemanfaatan sistem human resources (HR)
yang berbeda-beda, baik dari segi sistem aplikasi maupun vendor-nya. Hal semacam
ini juga diberlakukan di jaringan hotel Hyatt di Indonesia.
Budi mengakui, investasi di bidang TI jelas membutuhkan perhitungan yang cermat.
Pasalnya, dana yang bakal diserap tak bisa dibilang sedikit. Untuk itu, saat
merancang program investasi bidang TI, manajemen Hyatt menggunakan dasar
perhitungan persentase dari total revenue hotel yang akan dicapai. "Umumnya,
sekitar 3% dari total revenue," jelas Budi. Angka ini pun masih dapat berubah,
tergantung besaran proyeknya. Biasanya, kata Budi, nilai satu proyek TI untuk
satu hotel Hyatt di sini bervariasi dari US$ 20.000 hingga US$ 300.000. Untuk
proyek yang membutuhkan kucuran dana relatif besar, panduannya selalu datang
dari Chicago. Panduan ini, menurut Budi, lantas diterjemahkan ke dalam business
plan -- termasuk perencanaan biaya -- oleh manajemen Hyatt di seluruh dunia.
Menurut Budi, tahap proses implementasi TI di Hyatt selalu dimulai dari
perencanaan, menyangkut apa saja yang diperlukan untuk proses implementasi TI.
Dilanjutkan dengan proses perancangan yang meliputi desain
infrastruktur/ topology, jenis layanan komunikasi, dan jaringan komunikasi data.
Proses implementasi TI di Hyatt juga mencakup pelatihan user (karyawan), proses
maintenance (pengelolaan) , serta tindakan perbaikan jika diperlukan.
Pemilihan dan penentuan perangkat hardware dan software yang diperlukan,
disesuaikan dengan standar yang telah ditetapkan. Perangkat hardware yang
tergolong utama (major) biasanya seragam. Semisal, server untuk aplikasi hotel
system menggunakan IBM RISC/6000, dan untuk mail system menggunakan IBM
Netfinity.
Penyeragaman juga berlaku untuk software aplikasi yang digunakan. Contohnya,
software untuk mail system menggunakan Lotus Notes/Domino, sedangkan untuk
beberapa hardware yang tidak termasuk kategori major (semisal workstation) ,
manajemen Hyatt Internasional mempersilakan manajemen lokal menggunakan
perangkat yang harganya disesuaikan dengan anggaran hotel.
Bagaimana peran konsultan? Kata Budi, konsultan TI resmi hanya ada di Chicago,
sedangkan di tingkat lokal seperti Indonesia, manajemen hotel tak menyewa
konsultan. "Kami hanya menyewa vendor yang akan mengerjakan proyek yang sedang
dikerjakan, dan sekaligus bertindak sebagai konsultan," katanya.
Dalam praktik, diakui Budi, proses implementasi TI tak selamanya mulus.
Persoalan utama yang dihadapi adalah bagaimana membuat ongkos yang dikeluarkan
sebanding dengan manfaat yang bakal diperoleh, sekaligus menjadikannya
keuntungan. "Tujuan implementasi TI adalah meningkatkan kinerja perusahaan, maka
harus dipikirkan besarnya biaya implementasi dan perolehan keuntungan atau
kegunaan yang bisa dicapai," tuturnya.
Agar tujuan ini tercapai, evaluasi keberhasilan pun mutlak diperlukan. Di Hyatt,
menurut Budi, ada beberapa ukuran yang digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan
implementasi TI. Pertama dari segi waktu. "Sejauh mana TI berpengaruh terhadap
kecepatan proses kerja dibanding sebelum TI dimanfaatkan, " ujarnya. Kedua, dari
segi kualitas, sistem TI yang digunakan harus sesuai dengan standar TI yang
sudah ditentukan. Ketiga, dari segi kuantitas, ukurannya adalah seberapa banyak
jenis pekerjaan yang dapat diproses setelah implementasi, termasuk di dalamnya
berapa jumlah sumber daya yang digunakan dibanding sebelumnya.
Ke depan, ungkap Budi, Hyatt berencana menerapkan global reservation system yang
sempat tertunda. Dengan aplikasi ini, pemesanan kamar bisa dicek secara real
time dan online ke jaringan Hotel Hyatt di seluruh dunia. Setelah itu, juga akan
dibuat nomor kontak pusat untuk layanan reservasi jaringan hotel Hyatt dan
Aryaduta di Indonesia. Rencana lain, menurut Budi, adalah pengembangan virtual
private network (VPN) dan akses telepon berbasis internet (IP phone), yang akan
menghubungkan jaringan Hyatt di Indonesia dengan Hyatt Internasional di seluruh
dunia.
Manajemen Hyatt boleh berbangga, implementasi TI mereka sepertinya sudah berada
di jalur tepat. Betty Alisyahbana menyebutkan keunggulan perusahaan yang
berjaringan internasional adalah karena mereka punya standar internasional yang
sudah terbukti. Tetapi, di mata Ketua STIMIK Perbanas Richardus Eko Indrajit,
tidak banyak yang istimewa dari sistem TI di hotel tersebut. Pemanfaatan
aplikasi PMS untuk hotel system yang terintegrasi, menurut Eko, sudah hal yang
lumrah dan menjadi keharusan di bisnis perhotelan. "Hotel system ini jelas harus
ada, kalau nggak ada bukan hotel namanya," seloroh Eko.
Sebenarnya, kalau melihat rencana Hyatt ke depan, mereka tampaknya juga sudah
berusaha mengadopsi teknologi terbaru, misalnya global reservation system yang
real time dan online, VPN, hingga IP phone. Positifnya, kesemua teknologi baru
yang direncanakan ini agaknya juga berkaitan erat dengan proses bisnisnya.
Namun, kekurangannya, menurut Eko, Hyatt belum punya sistem aplikasi yang dapat
menumbuhkan loyalitas pelanggan. Eko mencontohkan, salah satu cara membuat
pelanggan loyal adalah memberikan program semacam reward point terutama untuk
pelanggan yang telah beberapa kali menginap di jaringan hotel Hyatt. Selain itu,
sebagai pelaku bisnis hospitality, menurut Eko, sebaiknya Hyatt juga bekerja
sama dengan pihak lain yang juga berkecimpung di bisnis yang sama, misalnya
dengan maskapai penerbangan. "Misalnya, pelanggan Hyatt yang beberapa kali naik
Garuda atau telah mencapai jarak penerbangan tertentu, bisa mendapat reward
serupa," kata Eko.
Dengan aplikasi semacam ini, menurut Eko, Hyatt bisa mencatat dan mengenali
pelanggan dengan cermat dan akurat. Aplikasi yang tergolong dalam CRM (customer
relationship management) ini tampaknya belum dimiliki Hyatt. Padahal, kata Eko,
pemanfaatan aplikasi semacam ini akan berdampak sangat banyak. "Memberikan
reward kepada pelanggan bisa menumbuhkan loyalitas karena mereka merasa
diperhatikan, " ungkapnya. Dengan menerapkan program semacam ini, menurut dia,
hotel pun tak lagi hanya jadi tempat menginap, namun menawarkan berbagai nilai
lebih kepada pelanggan untuk membuat mereka semakin loyal.
Pakar berusia muda ini juga menilai, pihak manajemen Hyatt di Indonesia tentu
sudah melihat atau membaca sukses implementasi TI di hotel lain di mancanegara.
Hanya saja, menurut dia, memang tidak mudah buat Hyatt Indonesia meniru model
implementasi TI hotel lain di mancanegara dan mengembangkannya di sini.
"Bisa-bisa (itu) malah jadi bumerang," tegasnya.
Kekhawatiran Eko tentu beralasan. Selain kendala ketersediaan dana investasi
yang cukup besar untuk penyediaan infrastruktur, budaya pemanfaatan TI juga
belum terlalu kondusif. "Bisa juga karena mereka belum menemukan solusi win-win
dengan perusahaan yang akan jadi partner dalam bisnis," Eko menduga.
Di sisi lain, besaran angka investasi pun menurut Eko, seharusnya tak harus jadi
masalah buat hotel sekelas Hyatt. Pasalnya, jika melihat segmen pelanggannya
yang berasal dari golongan menengah ke atas, reputasi Hyatt tentu tak bisa
diremehkan. Dengan demikian, kalaupun investasi ini dilakukan, diperkirakan akan
bisa menghasilkan revenue baru. Menurut dia, penentuan anggaran TI yang mengacu
pada persentase pendapatan yang bakal diperoleh tak ada salahnya. Yang jadi soal
adalah besaran persentasenya. "Di negara berkembang investasi TI biasanya memang
masih di bawah 5%, sedang di negara maju bisa sampai 20%-nya," Eko
membandingkan.
Pengembangan sistem reservasi global yang dikerjakan Hyatt juga tak luput dari
pengamatan Eko. Menurut dia, wajar Hyatt selama ini telah memiliki dan
menggunakan jaringan khusus yang saling terhubung satu sama lain. Lebih-lebih
dengan dukungan TI, sistem reservasi yang digunakan Hyatt harus semakin canggih,
karena menggunakan beragam kanal, seperti telepon, internet, atau yang lain.
"Namun, akan semakin bagus, jika pelanggan sendiri yang melakukan reservasi
tanpa harus lewat front office Hyatt," katanya menyarankan.
Eko menyimpulkan, sebenarnya masih banyak fungsi TI yang belum diterapkan Hyatt
di Indonesia. Ia menyarankan manajemen Hyatt di Indonesia mendefiniskan kembali
calon pelanggan potensial mereka dan karakteristiknya. Untuk patokan awal,
manajemen Hyatt dapat menggunakan kompetitor sebagai pembanding. Selain itu,
Hyatt juga harus selalu me-review apakah sistem TI yang mereka gunakan telah
membuat pelanggan loyal. Survai atau masukan harus juga diminta dari para
pelanggannya. "Ini perlu untuk mendukung analisis terhadap kebijakan dan pola
investasi TI agar tepat sasaran," kata Eko tegas.
Sumber:
SWA 02/XIX/ 23 JANUARI - 5 FEBRUARI 2003
No comments:
Post a Comment