Oleh Ahmad Rofiq
Matahari telah muncul di timur. Cahaya kuning menyeruak dan menguasi permukaan langit. Bola api raksasa itu merangkak mendaki hingga sepenggalah ketinggiannya. Biasanya di waktu seperti itu Rena sudah berada di dapur. Memasak atau mencuci tumpukan piring kotor. Tapi tidak di pagi itu. Saat itu dia merasakan tubuhnya capek dan kepala agak pening. Maka dia masih tiduran di dalam kamar.
Tuesday, March 30, 2010
Persiapan Calon Pengantin
Beberapa calon pengantin menanyakan secara bercanda, ada tidak sih sekolah untuk calon pengantin? Memang secara formal tak ada, tapi tentunya banyak informasi yang bisa diperoleh.
Perkawinan merupakan suatu yang sangat berarti secara pribadi, istimewa, dan sangat khusus bagi setiap individu. Berikut saya uraikan beberapa hal yang perlu dipahami sebagai bahan informasi dan renungan untuk persiapan bagi para calon pengantin agar secara psikologis mereka lebih mantap memasuki kehidupan baru.
Perkawinan merupakan suatu yang sangat berarti secara pribadi, istimewa, dan sangat khusus bagi setiap individu. Berikut saya uraikan beberapa hal yang perlu dipahami sebagai bahan informasi dan renungan untuk persiapan bagi para calon pengantin agar secara psikologis mereka lebih mantap memasuki kehidupan baru.
Belajar
Belajar merupakan hal yang wajib dilakukan oleh para pelajar dan mahasiswa. Belajar pada umumnya dilakukan di sekolah ketika jam pelajaran berlangsung dibimbing oleh Bapak atau Ibu Guru. Belajar yang baik juga dilakukan di rumah baik dengan maupun tanpa pr / pekerjaan rumah. Belajar yang dilakukan secara terburu-buru akibat dikejar-kejar waktu memiliki dampak yang tidak baik.
Berikut ini adalah tips dan triks yang dapat menjadi masukan berharga dalam mempersiapkan diri dalam menghadapi ulangan atau ujian :
1. Belajar Kelompok
Belajar kelompok dapat menjadi kegiatan belajar menjadi lebih menyenangkan karena ditemani oleh teman dan berada di rumah sendiri sehingga dapat lebih santai. Namun sebaiknya tetap didampingi oleh orang dewasa seperti kakak, paman, bibi atau orang tua agar belajar tidak berubah menjadi bermain. Belajar kelompok ada baiknya mengajak teman yang pandai dan rajin belajar agar yang tidak pandai jadi ketularan pintar. Dalam belajar kelompok kegiatannya adalah membahas pelajaran yang belum dipahami oleh semua atau sebagian kelompok belajar baik yang sudah dijelaskan guru maupun belum dijelaskan guru.
2. Rajin Membuat Catatan Intisari Pelajaran
Bagian-bagian penting dari pelajaran sebaiknya dibuat catatan di kertas atau buku kecil yang dapat dibawa kemana-mana sehingga dapat dibaca di mana pun kita berada. Namun catatan tersebut jangan dijadikan media mencontek karena dapat merugikan kita sendiri.
3. Membuat Perencanaan Yang Baik
Untuk mencapai suatu tujuan biasanya diiringi oleh rencana yang baik. Oleh karena itu ada baiknya kita membuat rencana belajar dan rencana pencapaian nilai untuk mengetahui apakah kegiatan belajar yang kita lakukan telah maksimal atau perlu ditingkatkan. Sesuaikan target pencapaian dengan kemampuan yang kita miliki. Jangan menargetkan yang yang nomor satu jika saat ini kita masih di luar 10 besar di kelas. Buat rencana belajar yang diprioritaskan pada mata pelajaran yang lemah. Buatlah jadwal belajar yang baik.
4. Disiplin Dalam Belajar
Apabila kita telah membuat jadwal belajar maka harus dijalankan dengan baik. Contohnya seperti belajar tepat waktu dan serius tidak sambil main-main dengan konsentrasi penuh. Jika waktu makan, mandi, ibadah, dan sebagainya telah tiba maka jangan ditunda-tunda lagi. Lanjutkan belajar setelah melakukan kegiatan tersebut jika waktu belajar belum usai. Bermain dengan teman atau game dapat merusak konsentrasi belajar. Sebaiknya kegiatan bermain juga dijadwalkan dengan waktu yang cukup panjang namun tidak melelahkan jika dilakukan sebelum waktu belajar. Jika bermain video game sebaiknya pilih game yang mendidik dan tidak menimbulkan rasa penasaran yang tinggi ataupun rasa kekesalan yang tinggi jika kalah.
5. Menjadi Aktif Bertanya dan Ditanya
Jika ada hal yang belum jelas, maka tanyakan kepada guru, teman atau orang tua. Jika kita bertanya biasanya kita akan ingat jawabannya. Jika bertanya, bertanyalah secukupnya dan jangan bersifat menguji orang yang kita tanya. Tawarkanlah pada teman untuk bertanya kepada kita hal-hal yang belum dia pahami. Semakin banyak ditanya maka kita dapat semakin ingat dengan jawaban dan apabila kita juga tidak tahu jawaban yang benar, maka kita dapat membahasnya bersama-sama dengan teman. Selain itu
6. Belajar Dengan Serius dan Tekun
Ketika belajar di kelas dengarkan dan catat apa yang guru jelaskan. Catat yang penting karena bisa saja hal tersebut tidak ada di buku dan nanti akan keluar saat ulangan atau ujian. Ketika waktu luang baca kembali catatan yang telah dibuat tadi dan hapalkan sambil dimengerti. Jika kita sudah merasa mantap dengan suatu pelajaran maka ujilah diri sendiri dengan soal-soal. Setelah soal dikerjakan periksa jawaban dengan kunci jawaban. Pelajari kembali soal-soal yang salah dijawab.
7. Hindari Belajar Berlebihan
Jika waktu ujian atau ulangan sudah dekat biasanya kita akan panik jika belum siap. Jalan pintas yang sering dilakukan oleh pelajar yang belum siap adalah dengan belajar hingga larut malam / begadang atau membuat contekan. Sebaiknya ketika akan ujian tetap tidur tepat waktu karena jika bergadang semalaman akan membawa dampak yang buruk bagi kesehatan, terutama bagi anak-anak.
8. Jujur Dalam Mengerjakan Ulangan Dan Ujian
Hindari mencontek ketika sedang mengerjakan soal ulangan atau ujian. Mencontek dapat membuat sifat kita curang dan pembohong. Kebohongan bagaimanapun juga tidak dapat ditutup-tutupi terus-menerus dan cenderung untuk melakukan kebohongan selanjutnya untuk menutupi kebohongan selanjutnya. Anggaplah dengan nyontek pasti akan ketahuan guru dan memiliki masa depan sebagai penjahat apabila kita melakukan kecurangan.
Semoga tips cara belajar yang benar ini dapat memberikan manfaat untuk kita semua, amin.
400 km pertama jauh dari orang tua
Juara I Lomba Penulisan "Bangga Indonesia"
Arak-arakan di langit utara Yogya menambah semarak pemandangan Gunung Merapi sore itu. Senyumku lebar saat kaki ini menginjak peron Stasiun Tugu. Disambut lukisan besar karya perupa yang bergabung dalam perhelatan Jogja Jamming Biennale X, mataku berbinar-binar. Dalam hati aku bersorak. ”Tiba juga aku di Yogya, kawan!”
Awal liburan ini, seperti teman-teman lain, aku bingung menentukan apa yang ingin kulakukan, ke mana aku akan pergi, dan sederet pertanyaan lain. Sempat iri juga dengan teman yang menghabiskan liburan di luar negeri, dan main perang salju di Eropa, atau nuansa berbeda dengan bule-bule pirang di AS. Tentu aku tak bisa, wong kantongku kempis sejak awal liburan. Pergi ke Yogya saja aku dimodali orangtua.
Puluhan kali sudah aku ke Yogya, termasuk saat mudik Lebaran. Yang berbeda dalam kunjungan kali ini, aku pergi sendiri, mencoba jadi sok backpacker, padahal hanya ranselnya yang sama. Hasrat tertuntaskan, karena aku bebas melakukan apa pun.
Biasanya aku tinggal duduk tenang di mobil dan membiarkan ayahku menyetir ke tempat tujuan. Kali ini, ke mana-mana aku naik bus kota yang jalurnya njelimet, mencapai 20 jalur. Sayang, mulutku hanya terbungkam, susah rasanya mencolek orang di sebelahku untuk bertanya bus jalur berapa yang harus kunaiki untuk tiba di tempat-tempat wisata. Bingung dan tak berani, aku diam saja. Di sebelahku, ibu-ibu yang membawa tas anyaman menegurku.
”Mau ke mana, Dik? Bisa dibantu?”
Langsung aku mesam-mesem ngguyu (tersenyum). Ibu itu membantuku memberi tahu jalur bus yang harus kunaiki, bahkan ia minta tolong kernet bus untuk membantuku turun di tempat yang tepat. Sambil berterima kasih, aku mengirim SMS untuk keluargaku di Bandung: Tibalah aku di rumah Simbah (kakek-nenek) dengan selamat.
Esok harinya, Tour de Jogja dimulai. Di bus aku selalu ditanyai dan dibantu orang-orang di sebelahku. Entahlah, mungkin musababnya raut wajahku yang kentara bukan orang Yogya, atau logatku yang nyunda.
Di tempat-tempat wisata, selalu ada bule yang terselip di antara wisatawan domestik. Walau muka mereka memerah kepanasan, aku pasti menemukan seulas senyum ketika mereka takjub melihat megahnya Keraton, puluhan baju adat yang digunakan di tiap upacara yang berbeda, panorama puncak Merapi, hingga saat mengabadikan momen-momen indah lewat lensa DSLR mereka.
Aku ikut tersenyum. Bangga meluap-luap di dada ini, karena bule-bule yang katanya lebih maju dari kita itu mengakui budaya dan keindahan yang kita miliki. Senyuman mereka salah satu bentuk pengakuan, bukan?
Sudah jadi stereotip: berwisata itu sekaligus berbelanja. Jadilah sore yang dingin habis diguyur air itu, aku berjalan menyusuri Malioboro. Penuh sesaknya membantuku menghangatkan badan. Lama-lama lelah juga, walaupun tentenganku hanya satu plastik kecil (upaya penghematan).
Tetapi, raga yang lelah terbayar tuntas dengan indera yang termanjakan melihat di antaranya batik yang elok dan motifnya macam-macam, kreativitas para perajin. Sambil menandaskan semangkuk hangat wedang ronde (harus kamu coba saat ke Yogya), obrolan ringan tercipta dengan penjaja oleh-oleh. Kuangkat topi rajutanku untuk kultur mereka yang hangat, rekat, akrab.
Teori relativitas Einstein benar-benar kurasakan. Hitungan hari dengan mudah berlalu. Walaupun enggan, toh tiba juga aku di pengujung hariku di Yogya. Tanpa dikomando, Simbahku sudah menyiapkan sekardus besar oleh-oleh hasil ladang, sawah, dan kebunnya.
Entahlah, rasanya baru kali ini aku sadar betapa diberkahinya negeri ini. Apa pun yang kita tanam, hasilnya melimpah. Bahkan, saat kita sembarangan membuang biji jeruk di tanah pun, dia akan tumbuh. Kutilik sedikit isinya, sisa panen kedelai musim lalu; nanas, melon, pepaya, dan manggis hasil petikan dari kebun; juga emping, peyek, dan kerupuk bikinan tangan Simbah.
Begitulah Simbah, juga simbah-simbah lainnya. Begitu pula segenap orangtua dan lapisan masyarakat lain. Budaya buah tangan dan menjaga tali persaudaraan sudah mendarah daging. Penghormatan antarmanusia, saling menjaga rasa damai, hasil alam yang melimpah ruah.
Setidaknya begitulah doktrin yang diterima sejak kita kecil: negara kita kaya, subur, makmur loh jinawi.
Jangan ganggu dulu dengan keluhan soal korupsi, hukum, pendidikan, kesehatan, dan ekonomi yang belum juga layak standar. Jangan bandingkan dulu dengan teknologi di Barat, atau macan ekonomi Asia yang mulai mengaum. Jangan bandingkan dulu indeks pembangunan manusia kita dengan negara-negara adidaya. Ya, kita memang kalah jauh! Jauh sekali!
Tetapi, bandingkanlah budaya kita, senyum kita, keramahan kita, limpahan alam kita, dengan mereka. Protes karena semua itu tak sebanding? Atau karena hal yang demikian sebenarnya telah terkikis?
Bacalah hal-hal berikut ini untuk terakhir kalinya: Siapa lagi yang akan bangga terhadap negerinya kalau bukan dirinya sendiri? Siapa lagi yang mau mengangkat negerinya kalau bukan dirinya sendiri?
Lagi pula, ada hal yang harus diingat: Tuhan Maha-adil. Berdampingan dengan kekurangan, ada kelebihan. Oleh karena itulah tak ada perlunya merendahkan diri sendiri karena negeri lain terlihat lebih ”wah”.
Percayalah, kita punya cara dan karakter sendiri untuk diakui sebagai negara yang maju. Itu dimulai dari pengakuan serta rasa bangga. Selanjutnya? Pengakuan dan kebanggaan akan menunjukkan jalannya sendiri.
NOOR TITAN, PUTRI HARTONO, SMAN 3 BANDUNG
Sumber: Kompas.Com
Saya dan Indonesia
Juara II Lomba Penulisan "Bangga Indonesia"
Indonesia, negeri tempat saya lahir dan tumbuh menyimpan banyak cerita. Dari nenek moyang yang berimigrasi dari Asia lalu menetap dan hidup di kepulauan Indonesia, sampai yang terbaru kabarnya Indonesia itu berawal dari Atlantis. Manusianya pun berkembang mulai zaman manusia prasejarah, kerajaan, penjajahan, sampai reformasi. Indonesia kaya budaya yang membuat penduduknya pun tercengang.
Indonesia punya banyak potensi. Tetapi, mengapa Indonesia kalah dari Jepang? Padahal, dari kekayaan alamnya, kita jauh lebih kaya. Jumlah penduduk kita pun lebih banyak dari Jepang.
Terjebak hidup di Indonesia selama 16 tahun membuat saya berpikir. Apakah tingkat kebahagiaan saya sama seperti orang lain yang hidup di tapal batas Indonesia? Mereka hidup di antara wilayah Indonesia dan negara lain. Nilai Indonesia mana yang harus mereka ambil sebagai pedoman hidup? Kehidupan mereka lebih menjanjikan di negara lain daripada negara sendiri. Alasan kuat apa yang membuat mereka tetap menjadi warga negara Indonesia?
Saya bertanya kepada teman. ”Kenapa orang China mau tinggal di China padahal mereka hidup di bawah pemerintahan otoriter?” Teman saya menjawab, ”Orang lain bertanya seperti itu juga tentang kita. Kenapa kita mau tinggal di Indonesia?”
Jawaban itu membuat saya berpikir. Kenapa saya masih di Indonesia? Mungkin seharusnya saya pindah ke Perancis yang pendidikannya gratis. Tetapi, selain tak punya uang untuk ke Perancis, ada alasan lain yang saya pun belum pasti.
Hubungan saya dengan Indonesia ibarat love-hate relationship. Saya benci sekaligus cinta negeri ini. Hubungan yang sulit terdefinisikan. Saya cinta sebab di Indonesia banyak anugerah Tuhan berupa alam yang cantik. Tetapi saya benci sebab anugerah itu tak terawat.
Potensi wisata alam Indonesia luar biasa. Pulau Bali hanya sebagian kecil dari keindahan kepulauan Indonesia. Tetapi mengapa Hawaii atau negara-negara Amerika Selatan yang menjadi tujuan wisata utama para turis?
Wisatawan domestik pun bingung mau berlibur ke mana? Pantai? Sering kali kotor, tak menarik, sepi, atau fasilitasnya kurang memadai. Alat transportasi menuju daerah itu pun sulit. Kalau saja pemerintah mau membangun atau menawarkan kepada pengusaha untuk membangun daerah wisata itu, tentu menguntungkan.
Wisata gunung di Indonesia banyak karena kita berada di ring of fire. Pegunungan ada di sepanjang Pulau Sumatera, Jawa, Irian, sampai kepulauan Maluku, yang yang cincinnya akan bersatu dengan pegunungan di Filipina.
Gunung Bromo menawarkan pengalaman mistis. Ketinggian gunung itu lebih dari 3.000 meter di atas permukaan laut. Ritual Yadnya Kasada dari suku Tengger yang tinggal di kaki gunung itu adalah sesuatu yang istimewa. Upacara sebagai pertanda mereka adalah bagian dari legenda Roro Anteng dan Joko Segar. Penduduk melemparkan sesembahan ke kawah Gunung Bromo.
Saya melihat iklan Visit Indonesia di internet menarik. Tetapi jarang ditayangkan saluran televisi kabel internasional. Kalau saya turis yang akan berlibur, tentulah memilih Malaysia yang iklannya sering muncul dan informasinya lebih mudah didapat. Filipina juga muncul dengan iklannya yang funky, dibantu Monkey D Apes dari grup Black Eyed Peas. Iklan ”Enjoy Jakarta” terasa membosankan.
Saya menonton acara di Discovery Channel Travel and Living. Di saluran itu banyak acara berjalan-jalan ke beberapa negara dunia. Indonesia dikunjungi dua kali dalam dua acara berbeda. Dalam acara yang dipandu Bobby Chin, ia ke Jakarta lalu mencoba menjadi polisi bersepatu roda dan merasakan polusi udaranya. Saya malu melihat itu.
Dalam acara yang lain, pembawa acara Anthony Bourdain pergi ke Jakarta lalu ke Bali. Ia kaget di Jakarta ada McDonald ’s dan KFC. Kota ini menjadi seperti Amerika, katanya. Dia ke Ubud, Bali, menikmati sawah di pedesaan dan bertemu koki berkewarganegaraan asing yang memutuskan tinggal di Indonesia karena terpesona dengan Ubud yang tenang.
Saya bangga, ada orang asing yang ingin menetap di Indonesia karena tertarik keindahannya. Saya bangga akan potensi alam Indonesia yang kaya.
Setelah peristiwa bom di Hotel Ritz-Carlton, Jakarta, muncul gerakan yang dipelopori kaum muda, ”Kami Tidak Takut”. Gerakan itu berawal dari Twitter dan meluas ke seluruh Indonesia. Inti gerakan itu menunjukkan rakyat Indonesia tak takut teror bom. Ini memicu rasa nasionalisme kaum muda.
Seperti layaknya suatu gerakan, pasti menuai pro dan kontra. Seorang penggiat musik di Bali, Rudolf Dethu, menyatakan, kita seharusnya takut serangan bom. Menyatakan kita tak takut di Twitter, tak mengubah apa pun. Kita seharusnya membantu polisi mewaspadai mereka yang terlihat mencurigakan, lalu melaporkannya. Nasionalisme itu tak hanya terlihat dari seberapa sering kita menyebutkan Indonesia di Twitter.
Bukannya saya benci Indonesia, tetapi gerakan semacam ini bisa jadi tren sesaat. Sesudah itu mereka akan lupa untuk mencintai Indonesia. Sebutlah rasa nasionalisme saya rendah, hubungan saya dengan negara ini memang aneh. Rasa bangga saya akan Indonesia seperti jalan satu langkah dan mundur dua langkah, ataupun sebaliknya. Namun, rasa nasionalisme saya ada di hati dan terus berkembang tanpa harus digembar-gemborkan ke hadapan banyak orang. (BENING EMBUNPAGI, SMA MUTIARA BUNDA BANDUNG)
Sumber: Kompas.Com
Indonesia (Harusnya) Bangga
Juara III Lomba Penulisan "Bangga Indonesia"
Kalau ditanya apakah saya bangga menjadi warga negara Indonesia? Saya bangga karena Indonesia punya tokoh-tokoh yang hebat di mata internasional. Ada dokter Padmo yang berhasil memisahkan bayi kembar dempet di kepala Ana dan Ani dalam operasi yang dananya terbatas. Sang dokter membuktikan, keberhasilan proyek tak terletak pada fasilitasnya. Iya kan, wakil-wakil rakyat tercinta?
Kalau ditanya apakah saya bangga menjadi warga negara Indonesia? Saya bangga karena Indonesia punya tokoh-tokoh yang hebat di mata internasional. Ada dokter Padmo yang berhasil memisahkan bayi kembar dempet di kepala Ana dan Ani dalam operasi yang dananya terbatas. Sang dokter membuktikan, keberhasilan proyek tak terletak pada fasilitasnya. Iya kan, wakil-wakil rakyat tercinta?
Ada Presiden Soekarno yang berwibawa, mahir berbahasa, punya personal style keren (sampai ditiru bokap dan dua guru IPS saya). Dia menyumbangkan ideologi dan gagasan baru yang genius pada masanya. Di bidang keagamaan ada Gus Dur yang saya kagumi. Dia menghargai persatuan dalam keberagamaan. Padahal, sebagai mayoritas, dia enggak perlu begitu. Indonesia juga masih berjaya di bidang fisika, matematika, juga robotik.
Saya bangga karena banyak orang luar yang tertarik alam Indonesia. Sulit dipercaya betapa bagusnya alam Indonesia diambil dengan kamera dan narasi dalam bahasa Inggris, mulai dari Kalimantan sampai Pulau Komodo! Kita juga punya bunga terbesar di dunia, kita punya 5 dari 6 spesies penyu dunia (langsung nyontek dari kaus WWF). Daftar ”kebanggaan” saya bakal semakin panjang kalau dilanjutkan sampai ke IPTN di Bandung.
Singkat kata, saya bangga jadi warga negara Indonesia. Saya mau bertanya, mungkinkah Indonesia bangga akan saya?
Saya keturunan imigran Tionghoa yang tinggal di Kalimantan Barat. Saya minoritas. Namun, saya enggak menyadari hal ini karena belajar di sekolah yang mayoritas muridnya keturunan Tionghoa. Di lingkungan saya, enggak ada istilah terkucil. Sesempit itulah dunia saya.
Namun, saya tak akan menikmati dunia sempit itu begitu masuk universitas. Bokap tercinta berharap saya bisa masuk universitas negeri. Katanya, jurusan enggak penting, yang penting gengsinya! Jasnya! Elite! Bokap semakin getol begitu sepupu saya masuk universitas negeri di Jakarta. Dia meyakinkan saya kalau universitas negeri itu paling oke, lulusannya siap kerja, dan banyak lainnya.
Sayangnya, saya akan masuk universitas negeri itu sebagai minoritas. Ini bakal menjadi yang pertama sepanjang hidup saya, dan entah mengapa, tak menyiratkan hal baik.
Cerita pertama, teman saya adalah murid yang serius, rajin, berkemauan tinggi, dan cerdas. Dia juga keturunan Tionghoa dan bercita-cita menjadi ginekolog. Ini cocok dengan potensinya. Saat kita sharing, dia bilang mau masuk ginekologi di universitas negeri itu. Ehmm, enggak mungkin!
Mamanya juga sempet try-out di jurusan sejenis, dan gagal. Kata si teman, kuota untuk kami (baca: minoritas) terbatas. Sekali diterima paling 2 orang. Itu berarti standarnya tinggi banget. Saya sebagai sohib cuma bisa mendoakan agar si teman bisa masuk dalam kategori 2 orang genius itu. Tetapi, jujur, saya enggak setuju dengan keseluruhan ide ”kuota minoritas” ini.
Cerita kedua, si guru punya keponakan yang berhasil masuk universitas negeri. Tetapi dia enggak tahan. Usut punya usut, dia di-bully karena dia minoritas. Entah bullying-nya separah apa, tetapi si keponakan trauma dan pindah ke universitas swasta.
Si teman dan keponakan si guru adalah dua siswa yang cerdas banget. Kesempatan mereka diambil atau dipersempit begitu saja karena mereka minoritas. Ya, memang enggak ada bukti kalau perkataan mereka benar. Tetapi kabar burung kan enggak mungkin tersebar begitu saja. Jelas ini membuat saya berpikir. ”Kenapa kesempatan minoritas begitu tipisnya?”
Apakah ini karena Indonesia merasa malu atau terintimidasi kalau kami lebih maju, cuma karena nenek moyang kami bukan asli Indonesia? Kami bukan nenek moyang kami. Zaman berubah. Kami juga orang Indonesia yang bertalenta dan berhak mendapat peluang yang sama. Saya lahir di sini, jadi secara teknis saya Indonesia. Wong dari nenek dan kakek saya saja sudah berhabitat di Kalbar. Saya pasti bangga kalau punya kesempatan mewakili negara saya, enggak beda dengan orang lain.
Jangan mentang-mentang demokrasi ditentukan mayoritas, kami ditekan. Apa Indonesia belum sadar, kalau semua suku berbeda itu sudah disatukan dengan Pancasila? All for one, inget? Bhinneka Tunggal Ika. Inilah salah satu pemikiran yang diperjuangkan Gus Dur, tokoh yang saya kagumi.
Biar orang bilang ngomongin ras itu tabu, tetapi kalau enggak diomongin perlakuan yang diskriminatif enggak bakal tuntas. Dulu, kami pernah dijarah, pernah digusur karena masalah tabu itu. Mungkin tahap penyembuhan Indonesia belum selesai, makanya kami masih dianaktirikan. Tetapi itu kan sudah lama. Ayo dong perbaiki!
Kita sebagai satu kesatuan harus merangkul semua pihak karena pada dasarnya Indonesia dibangun bagi seluruh masyarakat, dari We sampai Rote, Sabang sampai Merauke, atas dasar persatuan.
Suatu saat nanti, kita semua bakal punya kesempatan sama besar, sesuai kemampuan. Dan daftar kebanggaan saya terhadap Indonesia pasti bertambah karena itu. Amin.(SKOLASTIKA LUPITAWINA, SMA SANTA URSULA BSD)
Sumber: Kompas.com
Wednesday, March 17, 2010
Satu
Satu senyuman memulai sebuah persahabatan
Satu nyanyian ikut mencipta suasana romantis
Satu tepukan di pundak mampu memompa semangat
Satu bintang dapat memandu pelaut.
Satu hak-suara sanggup mengubah wajah suatu bangsa.
Satu langkah menjadi awal sebuah perjalanan panjang.
Satu kata mengawali sebuah doa.
Satu orang diri Anda berharga di mata-Nya.
Satu orang beriman bisa menghantar 10, 100, bahkan 1.000 orang untuk mengenal Tuhan.
Satu peran menjadikan sebuah pelayanan lengkap.
(E-RH 17 Maret 2010)
Satu nyanyian ikut mencipta suasana romantis
Satu tepukan di pundak mampu memompa semangat
Satu bintang dapat memandu pelaut.
Satu hak-suara sanggup mengubah wajah suatu bangsa.
Satu langkah menjadi awal sebuah perjalanan panjang.
Satu kata mengawali sebuah doa.
Satu orang diri Anda berharga di mata-Nya.
Satu orang beriman bisa menghantar 10, 100, bahkan 1.000 orang untuk mengenal Tuhan.
Satu peran menjadikan sebuah pelayanan lengkap.
(E-RH 17 Maret 2010)
Subscribe to:
Comments (Atom)