Juara II Lomba Penulisan "Bangga Indonesia"
Indonesia, negeri tempat saya lahir dan tumbuh menyimpan banyak cerita. Dari nenek moyang yang berimigrasi dari Asia lalu menetap dan hidup di kepulauan Indonesia, sampai yang terbaru kabarnya Indonesia itu berawal dari Atlantis. Manusianya pun berkembang mulai zaman manusia prasejarah, kerajaan, penjajahan, sampai reformasi. Indonesia kaya budaya yang membuat penduduknya pun tercengang.
Indonesia punya banyak potensi. Tetapi, mengapa Indonesia kalah dari Jepang? Padahal, dari kekayaan alamnya, kita jauh lebih kaya. Jumlah penduduk kita pun lebih banyak dari Jepang.
Terjebak hidup di Indonesia selama 16 tahun membuat saya berpikir. Apakah tingkat kebahagiaan saya sama seperti orang lain yang hidup di tapal batas Indonesia? Mereka hidup di antara wilayah Indonesia dan negara lain. Nilai Indonesia mana yang harus mereka ambil sebagai pedoman hidup? Kehidupan mereka lebih menjanjikan di negara lain daripada negara sendiri. Alasan kuat apa yang membuat mereka tetap menjadi warga negara Indonesia?
Saya bertanya kepada teman. ”Kenapa orang China mau tinggal di China padahal mereka hidup di bawah pemerintahan otoriter?” Teman saya menjawab, ”Orang lain bertanya seperti itu juga tentang kita. Kenapa kita mau tinggal di Indonesia?”
Jawaban itu membuat saya berpikir. Kenapa saya masih di Indonesia? Mungkin seharusnya saya pindah ke Perancis yang pendidikannya gratis. Tetapi, selain tak punya uang untuk ke Perancis, ada alasan lain yang saya pun belum pasti.
Hubungan saya dengan Indonesia ibarat love-hate relationship. Saya benci sekaligus cinta negeri ini. Hubungan yang sulit terdefinisikan. Saya cinta sebab di Indonesia banyak anugerah Tuhan berupa alam yang cantik. Tetapi saya benci sebab anugerah itu tak terawat.
Potensi wisata alam Indonesia luar biasa. Pulau Bali hanya sebagian kecil dari keindahan kepulauan Indonesia. Tetapi mengapa Hawaii atau negara-negara Amerika Selatan yang menjadi tujuan wisata utama para turis?
Wisatawan domestik pun bingung mau berlibur ke mana? Pantai? Sering kali kotor, tak menarik, sepi, atau fasilitasnya kurang memadai. Alat transportasi menuju daerah itu pun sulit. Kalau saja pemerintah mau membangun atau menawarkan kepada pengusaha untuk membangun daerah wisata itu, tentu menguntungkan.
Wisata gunung di Indonesia banyak karena kita berada di ring of fire. Pegunungan ada di sepanjang Pulau Sumatera, Jawa, Irian, sampai kepulauan Maluku, yang yang cincinnya akan bersatu dengan pegunungan di Filipina.
Gunung Bromo menawarkan pengalaman mistis. Ketinggian gunung itu lebih dari 3.000 meter di atas permukaan laut. Ritual Yadnya Kasada dari suku Tengger yang tinggal di kaki gunung itu adalah sesuatu yang istimewa. Upacara sebagai pertanda mereka adalah bagian dari legenda Roro Anteng dan Joko Segar. Penduduk melemparkan sesembahan ke kawah Gunung Bromo.
Saya melihat iklan Visit Indonesia di internet menarik. Tetapi jarang ditayangkan saluran televisi kabel internasional. Kalau saya turis yang akan berlibur, tentulah memilih Malaysia yang iklannya sering muncul dan informasinya lebih mudah didapat. Filipina juga muncul dengan iklannya yang funky, dibantu Monkey D Apes dari grup Black Eyed Peas. Iklan ”Enjoy Jakarta” terasa membosankan.
Saya menonton acara di Discovery Channel Travel and Living. Di saluran itu banyak acara berjalan-jalan ke beberapa negara dunia. Indonesia dikunjungi dua kali dalam dua acara berbeda. Dalam acara yang dipandu Bobby Chin, ia ke Jakarta lalu mencoba menjadi polisi bersepatu roda dan merasakan polusi udaranya. Saya malu melihat itu.
Dalam acara yang lain, pembawa acara Anthony Bourdain pergi ke Jakarta lalu ke Bali. Ia kaget di Jakarta ada McDonald ’s dan KFC. Kota ini menjadi seperti Amerika, katanya. Dia ke Ubud, Bali, menikmati sawah di pedesaan dan bertemu koki berkewarganegaraan asing yang memutuskan tinggal di Indonesia karena terpesona dengan Ubud yang tenang.
Saya bangga, ada orang asing yang ingin menetap di Indonesia karena tertarik keindahannya. Saya bangga akan potensi alam Indonesia yang kaya.
Setelah peristiwa bom di Hotel Ritz-Carlton, Jakarta, muncul gerakan yang dipelopori kaum muda, ”Kami Tidak Takut”. Gerakan itu berawal dari Twitter dan meluas ke seluruh Indonesia. Inti gerakan itu menunjukkan rakyat Indonesia tak takut teror bom. Ini memicu rasa nasionalisme kaum muda.
Seperti layaknya suatu gerakan, pasti menuai pro dan kontra. Seorang penggiat musik di Bali, Rudolf Dethu, menyatakan, kita seharusnya takut serangan bom. Menyatakan kita tak takut di Twitter, tak mengubah apa pun. Kita seharusnya membantu polisi mewaspadai mereka yang terlihat mencurigakan, lalu melaporkannya. Nasionalisme itu tak hanya terlihat dari seberapa sering kita menyebutkan Indonesia di Twitter.
Bukannya saya benci Indonesia, tetapi gerakan semacam ini bisa jadi tren sesaat. Sesudah itu mereka akan lupa untuk mencintai Indonesia. Sebutlah rasa nasionalisme saya rendah, hubungan saya dengan negara ini memang aneh. Rasa bangga saya akan Indonesia seperti jalan satu langkah dan mundur dua langkah, ataupun sebaliknya. Namun, rasa nasionalisme saya ada di hati dan terus berkembang tanpa harus digembar-gemborkan ke hadapan banyak orang. (BENING EMBUNPAGI, SMA MUTIARA BUNDA BANDUNG)
Sumber: Kompas.Com
No comments:
Post a Comment