Juara III Lomba Penulisan "Bangga Indonesia"
Kalau ditanya apakah saya bangga menjadi warga negara Indonesia? Saya bangga karena Indonesia punya tokoh-tokoh yang hebat di mata internasional. Ada dokter Padmo yang berhasil memisahkan bayi kembar dempet di kepala Ana dan Ani dalam operasi yang dananya terbatas. Sang dokter membuktikan, keberhasilan proyek tak terletak pada fasilitasnya. Iya kan, wakil-wakil rakyat tercinta?
Kalau ditanya apakah saya bangga menjadi warga negara Indonesia? Saya bangga karena Indonesia punya tokoh-tokoh yang hebat di mata internasional. Ada dokter Padmo yang berhasil memisahkan bayi kembar dempet di kepala Ana dan Ani dalam operasi yang dananya terbatas. Sang dokter membuktikan, keberhasilan proyek tak terletak pada fasilitasnya. Iya kan, wakil-wakil rakyat tercinta?
Ada Presiden Soekarno yang berwibawa, mahir berbahasa, punya personal style keren (sampai ditiru bokap dan dua guru IPS saya). Dia menyumbangkan ideologi dan gagasan baru yang genius pada masanya. Di bidang keagamaan ada Gus Dur yang saya kagumi. Dia menghargai persatuan dalam keberagamaan. Padahal, sebagai mayoritas, dia enggak perlu begitu. Indonesia juga masih berjaya di bidang fisika, matematika, juga robotik.
Saya bangga karena banyak orang luar yang tertarik alam Indonesia. Sulit dipercaya betapa bagusnya alam Indonesia diambil dengan kamera dan narasi dalam bahasa Inggris, mulai dari Kalimantan sampai Pulau Komodo! Kita juga punya bunga terbesar di dunia, kita punya 5 dari 6 spesies penyu dunia (langsung nyontek dari kaus WWF). Daftar ”kebanggaan” saya bakal semakin panjang kalau dilanjutkan sampai ke IPTN di Bandung.
Singkat kata, saya bangga jadi warga negara Indonesia. Saya mau bertanya, mungkinkah Indonesia bangga akan saya?
Saya keturunan imigran Tionghoa yang tinggal di Kalimantan Barat. Saya minoritas. Namun, saya enggak menyadari hal ini karena belajar di sekolah yang mayoritas muridnya keturunan Tionghoa. Di lingkungan saya, enggak ada istilah terkucil. Sesempit itulah dunia saya.
Namun, saya tak akan menikmati dunia sempit itu begitu masuk universitas. Bokap tercinta berharap saya bisa masuk universitas negeri. Katanya, jurusan enggak penting, yang penting gengsinya! Jasnya! Elite! Bokap semakin getol begitu sepupu saya masuk universitas negeri di Jakarta. Dia meyakinkan saya kalau universitas negeri itu paling oke, lulusannya siap kerja, dan banyak lainnya.
Sayangnya, saya akan masuk universitas negeri itu sebagai minoritas. Ini bakal menjadi yang pertama sepanjang hidup saya, dan entah mengapa, tak menyiratkan hal baik.
Cerita pertama, teman saya adalah murid yang serius, rajin, berkemauan tinggi, dan cerdas. Dia juga keturunan Tionghoa dan bercita-cita menjadi ginekolog. Ini cocok dengan potensinya. Saat kita sharing, dia bilang mau masuk ginekologi di universitas negeri itu. Ehmm, enggak mungkin!
Mamanya juga sempet try-out di jurusan sejenis, dan gagal. Kata si teman, kuota untuk kami (baca: minoritas) terbatas. Sekali diterima paling 2 orang. Itu berarti standarnya tinggi banget. Saya sebagai sohib cuma bisa mendoakan agar si teman bisa masuk dalam kategori 2 orang genius itu. Tetapi, jujur, saya enggak setuju dengan keseluruhan ide ”kuota minoritas” ini.
Cerita kedua, si guru punya keponakan yang berhasil masuk universitas negeri. Tetapi dia enggak tahan. Usut punya usut, dia di-bully karena dia minoritas. Entah bullying-nya separah apa, tetapi si keponakan trauma dan pindah ke universitas swasta.
Si teman dan keponakan si guru adalah dua siswa yang cerdas banget. Kesempatan mereka diambil atau dipersempit begitu saja karena mereka minoritas. Ya, memang enggak ada bukti kalau perkataan mereka benar. Tetapi kabar burung kan enggak mungkin tersebar begitu saja. Jelas ini membuat saya berpikir. ”Kenapa kesempatan minoritas begitu tipisnya?”
Apakah ini karena Indonesia merasa malu atau terintimidasi kalau kami lebih maju, cuma karena nenek moyang kami bukan asli Indonesia? Kami bukan nenek moyang kami. Zaman berubah. Kami juga orang Indonesia yang bertalenta dan berhak mendapat peluang yang sama. Saya lahir di sini, jadi secara teknis saya Indonesia. Wong dari nenek dan kakek saya saja sudah berhabitat di Kalbar. Saya pasti bangga kalau punya kesempatan mewakili negara saya, enggak beda dengan orang lain.
Jangan mentang-mentang demokrasi ditentukan mayoritas, kami ditekan. Apa Indonesia belum sadar, kalau semua suku berbeda itu sudah disatukan dengan Pancasila? All for one, inget? Bhinneka Tunggal Ika. Inilah salah satu pemikiran yang diperjuangkan Gus Dur, tokoh yang saya kagumi.
Biar orang bilang ngomongin ras itu tabu, tetapi kalau enggak diomongin perlakuan yang diskriminatif enggak bakal tuntas. Dulu, kami pernah dijarah, pernah digusur karena masalah tabu itu. Mungkin tahap penyembuhan Indonesia belum selesai, makanya kami masih dianaktirikan. Tetapi itu kan sudah lama. Ayo dong perbaiki!
Kita sebagai satu kesatuan harus merangkul semua pihak karena pada dasarnya Indonesia dibangun bagi seluruh masyarakat, dari We sampai Rote, Sabang sampai Merauke, atas dasar persatuan.
Suatu saat nanti, kita semua bakal punya kesempatan sama besar, sesuai kemampuan. Dan daftar kebanggaan saya terhadap Indonesia pasti bertambah karena itu. Amin.(SKOLASTIKA LUPITAWINA, SMA SANTA URSULA BSD)
Sumber: Kompas.com
No comments:
Post a Comment