Juara I Lomba Penulisan "Bangga Indonesia"
Arak-arakan di langit utara Yogya menambah semarak pemandangan Gunung Merapi sore itu. Senyumku lebar saat kaki ini menginjak peron Stasiun Tugu. Disambut lukisan besar karya perupa yang bergabung dalam perhelatan Jogja Jamming Biennale X, mataku berbinar-binar. Dalam hati aku bersorak. ”Tiba juga aku di Yogya, kawan!”
Awal liburan ini, seperti teman-teman lain, aku bingung menentukan apa yang ingin kulakukan, ke mana aku akan pergi, dan sederet pertanyaan lain. Sempat iri juga dengan teman yang menghabiskan liburan di luar negeri, dan main perang salju di Eropa, atau nuansa berbeda dengan bule-bule pirang di AS. Tentu aku tak bisa, wong kantongku kempis sejak awal liburan. Pergi ke Yogya saja aku dimodali orangtua.
Puluhan kali sudah aku ke Yogya, termasuk saat mudik Lebaran. Yang berbeda dalam kunjungan kali ini, aku pergi sendiri, mencoba jadi sok backpacker, padahal hanya ranselnya yang sama. Hasrat tertuntaskan, karena aku bebas melakukan apa pun.
Biasanya aku tinggal duduk tenang di mobil dan membiarkan ayahku menyetir ke tempat tujuan. Kali ini, ke mana-mana aku naik bus kota yang jalurnya njelimet, mencapai 20 jalur. Sayang, mulutku hanya terbungkam, susah rasanya mencolek orang di sebelahku untuk bertanya bus jalur berapa yang harus kunaiki untuk tiba di tempat-tempat wisata. Bingung dan tak berani, aku diam saja. Di sebelahku, ibu-ibu yang membawa tas anyaman menegurku.
”Mau ke mana, Dik? Bisa dibantu?”
Langsung aku mesam-mesem ngguyu (tersenyum). Ibu itu membantuku memberi tahu jalur bus yang harus kunaiki, bahkan ia minta tolong kernet bus untuk membantuku turun di tempat yang tepat. Sambil berterima kasih, aku mengirim SMS untuk keluargaku di Bandung: Tibalah aku di rumah Simbah (kakek-nenek) dengan selamat.
Esok harinya, Tour de Jogja dimulai. Di bus aku selalu ditanyai dan dibantu orang-orang di sebelahku. Entahlah, mungkin musababnya raut wajahku yang kentara bukan orang Yogya, atau logatku yang nyunda.
Di tempat-tempat wisata, selalu ada bule yang terselip di antara wisatawan domestik. Walau muka mereka memerah kepanasan, aku pasti menemukan seulas senyum ketika mereka takjub melihat megahnya Keraton, puluhan baju adat yang digunakan di tiap upacara yang berbeda, panorama puncak Merapi, hingga saat mengabadikan momen-momen indah lewat lensa DSLR mereka.
Aku ikut tersenyum. Bangga meluap-luap di dada ini, karena bule-bule yang katanya lebih maju dari kita itu mengakui budaya dan keindahan yang kita miliki. Senyuman mereka salah satu bentuk pengakuan, bukan?
Sudah jadi stereotip: berwisata itu sekaligus berbelanja. Jadilah sore yang dingin habis diguyur air itu, aku berjalan menyusuri Malioboro. Penuh sesaknya membantuku menghangatkan badan. Lama-lama lelah juga, walaupun tentenganku hanya satu plastik kecil (upaya penghematan).
Tetapi, raga yang lelah terbayar tuntas dengan indera yang termanjakan melihat di antaranya batik yang elok dan motifnya macam-macam, kreativitas para perajin. Sambil menandaskan semangkuk hangat wedang ronde (harus kamu coba saat ke Yogya), obrolan ringan tercipta dengan penjaja oleh-oleh. Kuangkat topi rajutanku untuk kultur mereka yang hangat, rekat, akrab.
Berkah negeri
Teori relativitas Einstein benar-benar kurasakan. Hitungan hari dengan mudah berlalu. Walaupun enggan, toh tiba juga aku di pengujung hariku di Yogya. Tanpa dikomando, Simbahku sudah menyiapkan sekardus besar oleh-oleh hasil ladang, sawah, dan kebunnya.
Entahlah, rasanya baru kali ini aku sadar betapa diberkahinya negeri ini. Apa pun yang kita tanam, hasilnya melimpah. Bahkan, saat kita sembarangan membuang biji jeruk di tanah pun, dia akan tumbuh. Kutilik sedikit isinya, sisa panen kedelai musim lalu; nanas, melon, pepaya, dan manggis hasil petikan dari kebun; juga emping, peyek, dan kerupuk bikinan tangan Simbah.
Begitulah Simbah, juga simbah-simbah lainnya. Begitu pula segenap orangtua dan lapisan masyarakat lain. Budaya buah tangan dan menjaga tali persaudaraan sudah mendarah daging. Penghormatan antarmanusia, saling menjaga rasa damai, hasil alam yang melimpah ruah.
Setidaknya begitulah doktrin yang diterima sejak kita kecil: negara kita kaya, subur, makmur loh jinawi.
Jangan ganggu dulu dengan keluhan soal korupsi, hukum, pendidikan, kesehatan, dan ekonomi yang belum juga layak standar. Jangan bandingkan dulu dengan teknologi di Barat, atau macan ekonomi Asia yang mulai mengaum. Jangan bandingkan dulu indeks pembangunan manusia kita dengan negara-negara adidaya. Ya, kita memang kalah jauh! Jauh sekali!
Tetapi, bandingkanlah budaya kita, senyum kita, keramahan kita, limpahan alam kita, dengan mereka. Protes karena semua itu tak sebanding? Atau karena hal yang demikian sebenarnya telah terkikis?
Bacalah hal-hal berikut ini untuk terakhir kalinya: Siapa lagi yang akan bangga terhadap negerinya kalau bukan dirinya sendiri? Siapa lagi yang mau mengangkat negerinya kalau bukan dirinya sendiri?
Lagi pula, ada hal yang harus diingat: Tuhan Maha-adil. Berdampingan dengan kekurangan, ada kelebihan. Oleh karena itulah tak ada perlunya merendahkan diri sendiri karena negeri lain terlihat lebih ”wah”.
Percayalah, kita punya cara dan karakter sendiri untuk diakui sebagai negara yang maju. Itu dimulai dari pengakuan serta rasa bangga. Selanjutnya? Pengakuan dan kebanggaan akan menunjukkan jalannya sendiri.
NOOR TITAN, PUTRI HARTONO, SMAN 3 BANDUNG
Sumber: Kompas.Com